Kejadian 37:1-11 | Kesan Pertama, Tidak Selalu Menggoda

Renungan Khotbah Tafsir Kejadian 37:1-11 Seburuk-buruknya penilaian seorang terhadap orang lain, pasti tetap ada nilai kebaikan dalam diri orang lain.
Kejadian 37:1-11

Kesan Pertama, Tidak Selalu Menggoda — Mengawali renungan kita hari ini, saya membawa satu gambar ini:

Saya mau nanya, apa yang bapak dan ibu dan teman-teman muda lihat di sana?

Mungkin banyak di antara kita yang langsung menjawab, “itu kan gambar sebuah segitiga hitam”. Yups, memang benar bahwa ini adalah sebuah gambar yang berbentuk segitiga berwarna hitam.

Akan tetapi saya ingin bertanya sekali lagi, “Adakah di antara kita yang ketika melihat gambar ini untuk kali pertamanya juga memerhatikan bahwa ada kertas putih yang menjadi media bagi gambar segitiga berwarna hitam ini?”

Saya hanya menebak saja bahwa kebanyakan dari kita mungkin tidak akan langsung melihat pada kertas putihnya, melainkan dengan segera langsung melihat saja pada gambar segitiga berwana hitam yang ada di media kertas putih ini.

Yang saya mau katakan dengan permainan kecil tadi adalah seringkali ada banyak orang melihat sesuatu itu tidak secara utuh, tidak dengan sebagaimana adanya dirinya secara menyeluruh.

Ada banyak orang yang amat lebih mudah menilai sesuatu, termasuk orang lain di sini, hanya berdasarkan kesan pertama yang kita dapatkan dan kita temukan paling awal. “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda” ... begitu kata iklan parfum tempo dulu.

Masalahnya di sini, iya kalau kesan pertama yang kita dapatkan itu adalah kesan yang baik ... gak akan ada masalah ... Tetapi bagaimana jika kesan pertama yang kita dapatkan ketika kita melihat diri orang lain itu adalah kesan yang “buruk, negatif”?

Hal itulah yang sebenarnya bisa membuat kita semua bisa memiliki penghakiman secara menyeluruh (padahal hanya melihat “kesan pertamanya saja”) terhadap sesuatu.

Sekali lagi, iya kalau bagus kesan pertamanya, kalau buruk? Ujung-ujungnya kita bisa terperangkap dalam sebuah pengetahuan bahwa sesuatu atau bahkan orang lain itu buruk, negatif.

Lebih repot lagi kalau ditambah dengan obrolan tentang kesan pertama yang buruk itu ... makin parah. Kenapa? Sebab pendapat kita yang berdasarkan kesan pertama itu, belum tentu benar ...

Kesan Pertama, Tidak selalu Menggoda

Dalam pembacaan Alkitab kita hari ini, apa kesan pertama bapak, ibu dan teman-teman muda terhadap kisah Yusuf ini? Apa kesan pertama kita terhadap Yusuf?

Atau paling tidak, mari kita mencoba berada di dalam posisi saudara-saudaranya Yusuf, kira-kira apa kesan yang mereka dapatkan mengenai saudara kecil mereka, Yusuf?
Kejadian 37:1-11
Yusuf dan saudara-saudaranya
37:1 Adapun Yakub, ia diam di negeri penumpangan ayahnya, yakni di tanah Kanaan.
37:2 Inilah riwayat keturunan Yakub. Yusuf, tatkala berumur tujuh belas tahun--jadi masih muda--biasa menggembalakan kambing domba, bersama-sama dengan saudara-saudaranya, anak-anak Bilha dan Zilpa, kedua isteri ayahnya. Dan Yusuf menyampaikan kepada ayahnya kabar tentang kejahatan saudara-saudaranya.
37:3 Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia.
37:4 Setelah dilihat oleh saudara-saudaranya, bahwa ayahnya lebih mengasihi Yusuf dari semua saudaranya, maka bencilah mereka itu kepadanya dan tidak mau menyapanya dengan ramah.
37:5 Pada suatu kali bermimpilah Yusuf, lalu mimpinya itu diceritakannya kepada saudara-saudaranya; sebab itulah mereka lebih benci lagi kepadanya.
37:6 Karena katanya kepada mereka: "Coba dengarkan mimpi yang kumimpikan ini:
37:7 Tampak kita sedang di ladang mengikat berkas-berkas gandum, lalu bangkitlah berkasku dan tegak berdiri; kemudian datanglah berkas-berkas kamu sekalian mengelilingi dan sujud menyembah kepada berkasku itu."
37:8 Lalu saudara-saudaranya berkata kepadanya: "Apakah engkau ingin menjadi raja atas kami? Apakah engkau ingin berkuasa atas kami?" Jadi makin bencilah mereka kepadanya karena mimpinya dan karena perkataannya itu.
37:9 Lalu ia memimpikan pula mimpi yang lain, yang diceritakannya kepada saudara-saudaranya. Katanya: "Aku bermimpi pula: Tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadaku."
37:10 Setelah hal ini diceritakannya kepada ayah dan saudara-saudaranya, maka ia ditegor oleh ayahnya: "Mimpi apa mimpimu itu? Masakan aku dan ibumu serta saudara-saudaramu sujud menyembah kepadamu sampai ke tanah?"
37:11 Maka iri hatilah saudara-saudaranya kepadanya, tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya.
Faktanya:

Yusuf dalam ayatnya yang ke dua dikatakan bahwa ia menyampaikan kepada ayah mereka mengenai kejahatan-kejahatan kakak-kakaknya. Bagaimana perasaan kakak-kakaknya itu?

Mungkin di saat itu kakak-kakak Yusuf mulai menilai Yusuf sebagai seorang yang paling rese sedunia, sok ikut campur ... tukang ngadu. Cepu kata anak jaman sekarang mah.

Satu lagi, ayah mereka seakan-akan mengistimewakan Yusuf. Meng-anak-emaskan Yusuf dibandingkan dengan saudara-saudara Yusuf yang lain.

Dalam ayat 3 dikatakan begini:

Kejadian 37:3
Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia.

Mungkin ketika kakak-kakak Yusuf melihat Yusuf mengenakan jubah yang maha indah itu mereka akan menilai Yusuf sebagai “penjilat” bapaknya.

Anak yang selalu baik-baikin bapak untuk mendapatkan sesuatu atau karena ada maunya (penyakit lama buat kakak-kakak yang punya adek di rumah kan begitu ya).

Atau mungkin juga di saat mereka berkumpul dan Yusuf mengenakan jubahnya yang indah itu, kakak-kakaknya akan menilai Yusuf sebagai orang yang ... sombong, manja, sok, tukang pamer ... dll.

Yang terakhir adalah Yusuf bermimpi dan kemudian menceritakan mimpinya itu kepada kakak-kakaknya dan juga kepada ayahnya. Kejadian 37:5-10 dikatakan begitu.

Udah sombong, sok, manja, tukang ngadu, sekarang tambah satu lagi ... tukang tidur, pemalas .. Makanya cuma bisa mimpi yang kurang kerjaan aja, “Mana mungkin kami akan melakukan apa yang di dalam mimpinya si tukang tidur itu!”

Ternyata, dengan semua hal itu saudara-saudara Yusuf mendapatkan kesan yang negatif dan buruk terhadap Yusuf, adik kecil mereka itu. Sehingga dikatakan dalam ayat 11 bahwa mereka menjadi iri hatinya.

Benih kebencian mulai muncul diantara mereka terhadap pribadi Yusuf. Dan mulai saat itu, saudara-saudara Yusuf berusaha untuk menjatuhkan Yusuf .. dan yang lebih parah lagi adalah berusaha untuk menyingkirkan Yusuf dari tengah keluarga mereka .... bahkan kalau perlu, dibunuh aja sekalian.

Apa yang terjadi? Kakak-kakak Yusuf tidak berusaha untuk memahami adik kecil mereka itu sebagai mana adanya diri Yusuf sendiri. Kesan yang mereka dapatkan dari Yusuf adalah kesan yang negatif, sehingga mereka juga berpikir jelek selalu terhadap setiap perilaku dan tindakan Yusuf.

Tidak Saling Memahami

Jika tadi kita sudah mencoba untuk melihat kisah ini dari sudut pandang kakak-kakak Yusuf, mari kita mencoba kali ini untuk melihat kisah ini dari sudut pandang Yusuf.

Apakah mungkin dalam hal ini Yusuf menyampaikan segala sesuatu yang ia alami, ia rasakan dan ia lihat itu dengan jujur – apa adanya?

Ketika Yusuf menyampaikan kepada ayah mereka tentang kejahatan kakak-kakaknya itu, ya memang karena mereka begitu ... nakal, jahat.
Yusuf juga menceritakan kepada kakak-kakaknya dan ayahnya tentang mimpi-mimpinya itu, juga dengan jujur – apa adanya. Ia sedang curhat tentang mimpi-mimpinya.

Yang tidak jelas adalah, apakah Yusuf memahami situasi dan kondisi yang ada? Dalam hal ini, apakah Yusuf memahami apa yang akan menjadi pikiran dan perasaan kakak-kakaknya ketika Yusuf mengadukan kejahatan mereka itu kepada ayah mereka.

Atau apakah Yusuf memang sengaja hendak pamer dengan jubah mahaindahnya itu; Atau bahkan apakah Yusuf sadar bahwa menceritakan mimpi-mimpinya itu justru semakin memperburuk suasana di rumah?

Satu hal yang mesti kita ingat lagi adalah Yusuf pada waktu itu masih muda ... Yusuf masih berumur 17 tahun (ayat 2)... Yusuf masih muda dan belum bisa berpikir panjang. Sampai-sampai penulis Alkitab menekankan dan mengingatkan kepada kita bahwa Yusuf pada waktu itu, ia masih muda.

Jadi, ini menurut saya ... yang paling dekat penafsirannya adalah Yusuf sebenarnya hanya ingin menyampaikan segala sesuatu yang ia alami, ia rasakan dan ia lihat itu dengan jujur dan apa adanya. Tak ada niat untuk melukai hati, sombong, atau bahkan menjilat bapaknya.

Perjuangan Kita

Cerita tentang pengalaman Yusuf beserta ayah dan kakak-kakaknya dalam perikop kita saat ini sebenarnya sangat dekat atau bahkan juga sangat mungkin dialami oleh kita dalam membina dan membangun kehidupan bersama kita, entah di tengah keluarga kita atau kita sebagai keluarga jemaat Tuhan di gereja.

Bukankah kita juga seringkali menilai perilaku, menilai sikap saudara-saudara kita yang lain itu hanya berdasarkan kesan yang kita dapatkan saja.

Dan seperti yang sudah kita bahas di awal, “iya kalau kesannya itu baik mah gak akan bermasalah, tetapi kalau kesan yang kita dapatkan adalah kesan yang jelek – negatif dan belum pasti benar ... lalu justru dengan kesan itu membuat kita mempunyai dan membangun pandangan yang buruk saja terhadap saudara kita yang lain itu bagaimana?”

Bahasa kerennya, banyak orang yang mungkin seringkali hanya menilai seseorang hanya berdasarkan subjektivitas kita saja, bukan penilaian yang objektif.

Karena mereka hanya menilai seseorang dari sudut pandang mereka, kesan mereka ... tetapi seringkali tidak berusaha mencoba untuk memahami orang lain itu dari sudut pandangnya sendiri ... memahami orang lain sebagaimana adanya dirinya sendiri itu.

Banyak orang yang terlalu cepat untuk berpikir negatif tentang sikap – perilaku dan tindakan orang lain.

Samalah seperti ketika kita pertama kali melihat kertas karton bergambar tadi. Betapa mudahnya kita melihat gambar segitiga hitam yang ada dalam kertas putih itu dibandingkan dengan kita yang melihat kertas putih itu secara seutuhnya.

Di dalam kehidupan kita pun seringkali demikian, betapa mudahnya kita menemukan dan melihat kejelekan – keburukan – kelemahan orang lain dan kita mulai tergoda untuk ngomongin orang lian tentang hal-hal negatif itu ketimbang kita mencoba untuk menemukan – melihat dan kemudian membicarakan kebaikan-kebaikan orang lain itu ... sulitnya lumayan.

Biasa ya bapak dan ibu ... kalau gosip itu kan ada yang bilang artinya “digosok makin sip”, apalagi kalau yang digosok itu adalah mengenai hal-hal yang negatif tentang orang lain, pasti beritanya akan jauh lebih cepat menyebar.

Kenapa sih yang kita kembangkan dalam kehidupan kita ini justru pemikiran-pemikiran yang jelek tentang orang lain. Banyak orang yang terjatuh dalam kegemaran ngomongin borok-boroknya orang lain.

Kenapa kita tidak mengembangkan pikiran-pikiran yang baik, yang positif terhadap keberadaan dan perilaku orang lain?

Apakah karena ... seseorang merasa diri lebih baik dan lebih sempurna dibandingakan dengan orang lain ketika mereka sedang ngomongin kejelekan orang lain? Di dunia ini gak ada seorang pun yang sempurna. Masing-masing kita pasti memiliki kelemahan dan kekurangan.

Ada sebuah falsafah Cina yang berbicara mengenai ketidaksempurnaan itu dan dituangkan dalam sebuah gambar ...

Itu adalah gambar .. lambang Yin dan Yang. Apa artinya lambang itu? Lingkaran ini sebenarnya menyimbolkan dua sisi kehidupan manusia.

Setiap kita adalah pribadi yang tidak sempurna ...
Sehitam-hitamnya lingkaran ini pasti ada titik putihnya.
Dan seputih-putihnya lingkaran ini pasti ada titik hitamnya.

Di dalam diri kita itu, seburuk-buruknya penilaian kita terhadap orang lain ... pasti ada nilai-nilai baik yang dimiliki dalam diri orang itu. Dan sebaliknya, sebaik-baiknya seseorang ... kalau mau dicari-cari mah ada aja pasti sesuatu yang tidak baik dalam dirinya itu.

Kita dipanggil oleh Tuhan dalam persekutuan umat Tuhan di tempat ini bukan karena kita semua adalah orang-orang yang sempurna. Justru karena kita ini tidak sempurna maka Tuhan memanggil kita untuk menjadi sempurna di dalam iman percaya kepada Kristus. Dengan cara apa?

Itu semua hanya dapat kita lakukan ketika kita mulai mengembangkan sikap dan pemikiran yang baik, yang positif terhadap keberadaan diri orang lain.

Di dalam ketidaksempurnaan diri kita ini, kita dipanggil untuk saling melayani ... saling memahami .. saling mengasihi ... untuk saling menguatkan dan mengingatkan ... agar kita menjadi sempurna di dalam Kristus Tuhan yang telah memanggil kita semua untuk bersekutu menjadi satu keluarga Tuhan di tempat ini.

Kita biasanya menilai diri kita dari apa yang kita rasa dapat kita lakukan, sementara orang lain menilai kita dari apa yang telah kita lakukan. (Henry Longfellow)

You may like these posts

  1. To insert a code use <i rel="pre">code_here</i>
  2. To insert a quote use <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. To insert a picture use <i rel="image">url_image_here</i>